BANDUNG
Penulis : Sri Wiyono
Lenterakata.com – Banyak kisah sukses yang berawal dari langkah-langkah kecil yang dilakukan terus menerus dan bersungguh-sungguh. Maka, benarlah kata ungkapan ‘hasil tak bakal mengkhianati usaha’. Artinya usaha yang dilakukan dengan penuh kesungguhan dan keteguhan hati pada akhirnya akan memetik hasil yang manis.
Begitu kiranya, kisah inspirasi yang disampaikan tiga Lokal Hero binaan Regional Indonesia Timur Subholding Upstream Pertamina yang dihadirkan pada salah satu sesi diskusi dalam Media Gathering Regional Indonesia Timur Subholding Upstream Pertamina yang digelar di Bandung2-5 Juni 2024.
Tiga Lokal Hero itu adalah Sutomo, Kepala Desa Doudo, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik dan Tatik dari Desa Sambiroto Kecamatan Kapas Kabupaten Bojonegoro yang keduanya dari Jawa Timur. Serta Agung Dwi Pratama dari Sulawesi Tengah.
Ketiga orang tersebut berhasil menginspirasi dan menjadi penggerak sehingga bisa mengubah lingkungan di sekitar tempat tinggalnya di bidangnya masing-masing. Hingga kemudian dilirik oleh Pertamina dan menerima pembinaan dari perusahaan BUMN itu dan makin cemerlang.
Tatik, perempuan usia 54 tahun yang akrab disapa Bu Mul itu semula bukan siapa-siapa. Dia hanya dikenal dikampungnya sebagai guru Taman Kanak-Kanak (TK) di desanya. Namun, berkat kegigihan dan tekatnya, dia mampu mengubah lingkungannya menjadi lebih baik secara ekonomi.
Perjalanan sukses Tatik diawali dari kegelisahannya yang hanya nganggur di rumah usai mengajar di TK. Sedangkan, lingkungan sekitarnya terutama kaum perempuan tak jauh beda, sementara secara ekonomi juga kurang bagus.
Tatik ingin punya aktivitas yang bisa meningkatkan kemampuannya untuk menjadi modal bisa mengubah kondisi ekonomi keluarga. Maka dari itu, ketika menerima informasi ada pelatihan membatik gratis dia mendaftar.
‘’Saat itu setiap datang ke lokasi pelatihan saya harus ngontel sejauh sekitar 5 kilometer,’’ ujar Tatik di hadapan puluhan jurnalis dan undangan lain dalam Media Gathering tersebut.
Merasakan manfaatkan pelatihan, dia ingin punya banyak teman dan berkreasi bareng. Sehingga Tatik mengajak ibu-ibu di sekitar rumahnya untuk belajar membatik bareng-bareng. Meski semula tak gampang namun, kemudian ada beberapa ibu yang mau gabung bahkan sampai membuat kelompok.
Mulus ? Tidak !. Sebab pandemi Covid-19 meruntuhkan kelompoknya. Modal yang dikumpulkan secara urunan tak berkembang, bahkan habis. Kain batik hasil produksi numpuk tak terjual, sedang modal sudah habis untuk biaya produksi. Tak ada pemasukan.
‘’Kelompok kami sempat bubar,’’ ungkapnya.
Namun, kabar baik akhirnya dari Pertamina dengan program pemberdayaannya. Desa Sambiroto salah satu yang menerima program tersebut. Dan, Tatik dipercaya pihak desa untuk kembali membentuk kelompok. Kali ini, Tatik memberi nama kelompoknya Batik Kembang Sambiloto. Hamper mirip dengan nama desanya.
‘’Nama sambiloto saya ambil dari nama tanaman yang bisa dijadikan obat,’’ tutur dia.
Pertamina memfasilitasi pelatihan, dukungan alat sampai dibuatkan cap motif batik. Bahkan beberapa desain motifnya sudah dipatenkan. Kelompok ini juga pernah ikut lomba desain batik. Sampai sekarang, sedikitnya 10 motif yang dipunyai kelompok ini. Salah satunya adalah motif tengul.
Kegiatan terus berjalan, dan cakupannya semakin luas. Karena kemudian yang membatik bukan hanya ibu-ibu, namun sudah merambah anak-anak mulai dari TK sampai SMP, juga remaja usia SMA. Mereka diberi kelas khusus membatik. Tujuannya untuk meningkatkan kreatifitas dan melestarikan budaya bangsa berupa batik.
‘’Anak-anak saya bebaskan untuk membuat desain sendiri sesuai keinginanya. Setelah jadi mereka juga bisa menggunakan batik hasil karyanya sendiri dengan bangga,’’ katanya.
Kegiatan itu juga lambat laun menghasilkan cuan. Karena kelompok maka hasilnya juga dibagi sesama anggota kelompok. Harga jual batik Sambiloto rerata Rp 150 ribu untuk ukuran 2 meteran. Untuk menunjang pemasaran mereka menggunakan media sosial, aktif ikut pameran maupun pemasaran langsung.
‘’Anggota kelompok saya 13 orang, kalau ada penjualan maka setelah dipotong biaya produksi sisanya dibagi merata ke seluruh anggota, semua menerima sama,’’ tandasnya.
Sementara Sutomo yang menerima giliran kedua menyampaikan kisah suksesnya dengan semangat. Kades yang menjabat tiga periode sejak 2002 silam itu mengatakan, apa yang dilihat sekarang adalah hasil kerja keras dan upaya yang tak mengenal lelah bertahun-tahun lalu.
Pria yang lahir 25 Januari 1973 ini adalah sarjana peternakan lulusan sebuah universitas swasta di Gresik. Sejak 1990 an dia sudah aktif di organisasi kepemudaan. Dia prihatin dengan kondisi desanya. Sebelum 2002 Desa Doudo adalah desa tertinggal dan miskin.
‘’Saya sempat malu nyebut desa saya, karena terbelakang dan sering diejek,’’ sebutnya.
Jangankan melirik, banyak orang tidak tahu desa ini. Bagi yang tahu, Desa Doudo tak ubahnya desa terasing yang terpencil dan miskin dengan infrastruktur ala kadarnya.
Hingga pada 2002 saat dia menjabat, punya keinginan untuk berubah. Desa yang dia pimpin harus punya sesuatu yang lebih dari desa lain. Ada tigak hal yang dilakukan, yakni promosi desa, membangun infrastruktur dan membangun pendapa desa.
Awalnya tak mudah. Namun kesungguhan niat itu kemudian disambut warga dengan mau ikut mengikuti dan mendukung program yang dicanangkan desa. Pelan-pelan mulai ditata. Pembangunan dijalankan, termasuk membangun wisata dengan tujuan menjadi aset desa yang menghasilkan dan membuat desa makin terkenal.
‘’Saat itu kami membangun wisata telaga yang ada di desa. Namun, saat pandemi wisata hancur dan dana tak sedikit yang sudah dikeluarkan mubazir,’’ ungkapnya.
Setelah pandemi usai, dilakukan evaluasi, apakah wisata telaga itu bisa dilanjutkan atau tidak.
‘’Hasilnya kami putuskan beralih ke wisata edukasi dengan memanfaatkan tanah yang ada,’’ katanya.
Maka mulailah ditata dan kebijakan-kebijakan baru diterapkan. Awalnya memang sulit. Untuk menanam misalnya, warga masih enggan, apalagi untuk merawatnya. Sehingga kemudian dilakukan dengan membuat percontohan di 8 rumah warga yang bersedia. Dananya sharing antara pemilik rumah dengan desa.
‘’Hasilnya bagus. RT yang ada rumah percontohan itu kalau lomba desa selalu memangm sehingga membuat iri RT-RT yang lain, sehingga kemudian mencontoh,’’ urainya.
Berkat kegigihan dan keras seluruh warga, banyak penghargaan yang diterima desa ini. Pemghargaan nasional misalnya sampai 13 kali, dan 7 kali penghargaan provinsi. Desa Doudo saat ini dikenal sebagai desa wisata, kampung eling, kampong sayur, kamoung aloevera, desa edukasi dan lainnya.
‘’Caranya mengajak adalah menyentuh hati warga dulu, mencari warga yang punya gagasan yang sama. Buat contoh dulu baru banyak yang mengikuti ketika berhasil,’’ tandas dia.
Sedangkan Agung Dwi Pratama bisa disebut pemuda pelopor di kampungnya. Founder BSF Gen Toili, Palu, Sulteng ini lulus sarjana 2016, dari fakultas teknik Univeritas Tadulako. Pemuda kelahiran 22 Maret 1995 ini sukses budidaya maggot dan menjadi binaan Pertamina.
Usahanya itu berasal pada 2018. Usai lulus kuliah dia bekerja dan tinggal di mes yang berada di belakang kantor utama tempatnya bekerja. Di belakang mess ada tanah lapang yang lumayan luas. Yang kemudian dia gukanan untuk tempat ternak ayam.
Dari sinilah aksinya dimulai, ketika dia memilhara 300 an ekor ayam, dia butuh pakan yang banyak. Sedang harga konsentrat satu sak di atas Rp500 ribu, sehingga memberatkan produksi.
‘’Sedangkan harga jual ayam sekitar Rp48 ribuan, sangat tidak imbang,’’ tuturnya.
Hal itu membuat dia harus putar otak, lalu menemukan magot sebagai pakan ayam setelah mencari-cari di internet. Dia lalu membudidayakan magot itu.
‘’Kalau pakai magot biaya produksi bisa turun 50 persen,’’ urainya.
Karena usahanya makin berkembang, pada 2021 dia membentuk tim dengan mengajak kawan-kawannya untuk gabung. Termasuk urunan untuk membuat rumah produksi. Sayangnya satu tahun kemudian, rumah produksinya hampir ambruk padahal penjualan belum banyak.
‘’Karena itu saya membuat proposal ke mana-mana termasuk ke Pertamina. Dan Pertamina ternyata menyambut lalu membantu kami membuatkan rumah produksi,’’ jelasnya.
Toili, kata Agung, adalah daerah transmigrasi yang ditopang pertanian dan peternakan, juga disebut lumbung pangan di Sulteng tapi dia melihat masih banyak yang perlu dikembangkan.
Saat ini produksinya sudah sekitar 300 gram telur magot yang bisa menjadi seribu magot. Untuk itu butuh sampah organik untuk mendukung budidaya magot tersebut. Karena di tempat tinggalnya belum ada tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, maka masyarakat masih buang sampah sembarang. Ada yang di sungai, dibakar dan lainnya.
‘’Karena itu saat ini kami terus memberikan edukasi ke sekolah-sekolah dan ke masyarakat untuk pengelolaan sampahnya,’’ ucapnya.
Soal lokal hero, Direktur Indonesia Timur Muhamad Arifin saat sambutan dalam gala dinner menyambut peserta Media Gathering mengatakan, lokal hero adalah pelaku kegiatan yang membantu perusahaan di lapangan. Hal itu bagian dari upaya menjalin kerjasama antara perusahaan dengan stake holder.
‘’Karena untuk berkembang dan maju perusahaan butuh banyak dukungan termasuk dari staker holder,’’ katanya.
Hal senada disampaikan Fitri Erika Senior Manajer Relation Regional 4 Indonesia Timur. Dia mengucapkan terimakasih dan memberi apresiasi setinggi-tingginya pada para perwakilan media yang menyediakan waktunya untuk hadir dalam Media Gathering.
Moment ini bisa dijadikan untuk update apa saja yang sudah dan bakal dilakukan perusahaan dalam mendukung ketersediaan energi.
Menurut dia banyak tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan ketersediaan energi tersebut. Salah satunya adalah pandemi dan terjadinya gejolak ekonomi. Namun perusahaan harus terus bekerja dan menjalin komunikasi serta kerjasama dengan stake holder.
‘’Media sebagai bagian dari stake holder punya peran penting sebagai instrumen perkembangan perusahaan. Karena media mengetahui dan bisa menyampaikan kondisi sebenarnya di lapangan. Bisa update apa yang sudah dilakukan dan menyampaikannya pada masyarakat,’’ tandasnya.(*)