Kisah Orangtua yang Anaknya Menjadi Korban Pelecehan Seksual

oleh -
TERIMA PENGADUAN : Nunuk Fauziyah Menerima Pengaduan Orangtua Korban

‘’Ke Mana Kami Harus Mencari Keadilan’’

Penulis : Sri Wiyono

DENGAN wajah tertunduk perempuan itu terus berkisah tentang anak lelakinya. Anak lelaki yang beranjak remaja itu menjadi kebanggaan keluarganya. Selepas madrasah ibtidaiyah (MI) atau setara sekolah dasar (SD), sang anak dengan panggilan Na (14) itu melanjutkan ke jenjang berikutnya, di sebuah SMP sekaligus pesantren di luar daerah.

Link Banner

Jadilah Na mondok sejak 2015 usai lulus MI di tempat asalnya, di sebuah desa di Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Dia mondok di sebuah pesantren di salah satu desa di Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Sang ibu Fe (40) dan sang ayah Da (40) menyambutnya dengan suka cita.

Tak ada sesuatu yang ganjil dalam proses belajar Na. Saat-saat awal belajar, Na cukup antusias. Meski dia harus berpisah dengan ibu bapaknya, tak membuat dia purik. Dia kerasan menuntut ilmu di pesantren tersebut.

Namun lambat laun sikap Na berubah. Dia terlihat lebih senang tinggal di rumah. Hal itu diperlihatkan ketika sudah saatnya balik pondok, dia selalu enggan. Na berusaha mengulur-ulur waktu agar tak segera balik ke pondok. Sang ibu Fe, yang selalu ngobraki Na agar balik ke pesantren.

‘’Dia tidak pernah cerita apa-apa. Ketika di tanya apa ada masalah di pondok, di juga mengaku tidak ada,’’ ujar Fe.

Hanya, sesekali Na mengeluh pada ibunya kalau saat pesantren dia sering digoda oleh teman-temannya. Hanya, digoda yang bagaimana dia tidak menceritakan. Sang ibu pun menganggap yang dilakukan pada Na adalah godaan biasa, layaknya anak-anak guyon.

‘’Karena itu, kata aku sering digodho teman-teman tidak saya anggap serius,’’ katanya.

Hal seperti itu, berlangsung sejak kelas VII MTs. Ketika naik ke kelas VIII, kondisi masih sama. Namun, Fe selalu berhasil memaksa anaknya untuk kembali ke pondok. Karena sekali lagi, Fe tidak tahu persoalan apa yang sebenarnya terjadi.

‘’Saya katakan, kalau saya dan bapaknya ingin punya anak yang pintar. Karena itu harus sekolah. Kalau dia tak mau kembali ke pondok dan sekolah lagi, ya tidak apa-apa. Kalau sudah seperti itu, anak saya mau balik ke pondok,’’ ungkapnya dengan berkaca-kaca.

Dan waktu pun berlalu, hingga Na naik ke kelas IX. Sikap penolakan untuk kembali ke pondok semakin sering. Lagi-lagi Fe berhasil membujuk dan memaksa Na balik ke pondok. Hingga puncaknya sekitar akhir Agustus 2017. Saat itu seingat Fe sekitar tanggal 22 dan 23 Agustus. Na kabur dari pondok. Dikatakan kabur karena Na pergi dari pondok tanpa pamit dan bukan waktu liburan.

Na kembali ke rumahnya, dan tak mau balik ke pondok. Saat itu, kemarahan bapak dan ibunya sudah tak bisa lagi memaksanya kembali ke pesantren. Fe dan Da menyerah. Sang anak dibiarkan saja di rumah. Na terus berdiam diri, ketika didesak ada persoalan apa, Na juga tak menjawab. Hingga seharian Na berdiam diri di kamar.

Hingga pada malamnya, sang bapak menemukan sebuah surat berisi curhatan Na dalam secarik kertas. Ternyata, seharian di dalam kamar dia menuliskan curahan hatinya. Menumpahkan kisah yang selama ini menyesaki rongga hatinya. Entah karena kelelahan atau sedih dan takut, Na tertidur di dekat coretan isi hatinya itu. Dan, begitulah cara Tuhan membuka tabir yang selama ini dia tutupi.

Sang ayah terduduk, lesu, sedih campur marah. Dia menyesali kenapa hal itu bisa terjadi, dan Na tidak pernah bercerita pada orangtuanya. Dalam tulisan di kertas itu, Na menuliskan bahwa dia telah mengalami pelecehan seksual dari teman-temannya. Dia menyebut ada tiga teman sekamar di pesantren yang melakukan pelecehan hingga (maaf) melakukan sodomi pada dia. Dan, sudah terjadi sejak dia duduk di kelas VII.

Malam itu, Da tak bisa memejamkan mata. Dia terus terjaga memikirkan kejadian yang diterima anaknya. Dia juga merasa kasihan sekaligus marah kenapa Na, karena tak mau cerita. Malam itu, Da menyimpan sendiri kisah getir anak lelakinya itu. Hingga subuh menjelang.

Usai salat subuh bersama Fe, Da terlihat terdiam dan matanya memerah menahan tangis. Fe kaget. Dia bertanya pada suaminya, apa gerangan yang membuatnya sedih. Da tak kuasa menjawab. Menjelang fajar siang itu, Da hanya bisa menatap lekat wajah istrinya. Tak sepatah katapun terucap. Lalu Da menyodorkan kertas berisi tulisan Na pada Fe.

Sampai pada titik ini, tangis Fe meledak. Punggungnya terguncang menahan isak. Airnya matanya mengalir deras. Wajahnya memerah menahan sedih. Sejenak perempuan berkulit putih ini terdiam. Rentetan ceritanya juga berhenti. Sedang Da yang berada di sampingnya semakin dalam menundukkan wajahnya. Hingga wajahnya tertutup topi yang dia pakai. Kesedihan begitu dalam dirasakan keduanya.

Ceritanya kembali mengalir saat Fe mulai bisa menguasai emosinya kembali. Usai membaca tulisan Na, dia langsung menggedor pintu kamar anaknya. Pagi buta itu, Na dibangunkan dan dicerca berbagai pertanyaan, namun Na tetap diam. Fe tak terima dengan kejadian yang dialami anaknya. Maka pagi itu dia, datangi pesantren dan melaporkan kejadian yang menimpa anaknya.

Pihak pesantren kemudian memanggil tiga anak yang diduga melakukan pelecehan seksual itu. Di hadapan sejumlah ustadz dan orangtua Na, tiga anak itu mengakui perbuatannya. Namun, salah satu ustadz pesantren juga menuduh kalau perbuatan itu karena Na yang memancing.

Perkataan ustadz pesantren itu membuat Da, ayah Na emosi. Dia bahkan sampai mumukul mulut Na hingga berdarah. Sebab, Da menganggap Na berbohong atas kejadian itu. Namun, setelah Na menjelaskan, Da akhirnya mengerti, dan dia menyesal atas tangannya yang sempat mampir ke mulut anaknya itu.

Fe mengatakan, pihak pesantren berusaha memediasi untuk menyelesaikan. Namun, sampai saat ini tidak ada hasilnya. Pesantren justru dinilai Fe kurang tegas dan menangani kasus Na. Fe pun kemudian mengambil tekat bulat memboyong Na pulang. Lalu, memasukkan Na ke sebuah sekolah di Tuban.

Untuk meminta pertanggungjawaban atas kasus anaknya Fe juga lapor resmi ke Polres Lamongan. Penyelidikan sudah dilakukan. Namun, lagi-lagi juga belum ada titik terang. Fe menyadari kasus anak-anak yang pelakunya juga anak-anak, menjadikan penegak hukum serba sulit. Upaya penyelesaikan dengan kekeluargaan juga pernah diupayakan. Namun menurut Fe, pihak keluarga pelaku terkesan tak serius.
‘’Lalu, nasib anak saya yang menjadi korban bagaimana,’’ keluhnya.

Upaya untuk mencari keadilan terus dia lakukan. Selain terus meminta kabar perkembangan kasusnya dari Polres Lamongan, dia juga mengupayakan banyak cara. Salah satunya mengadu ke sejumlah wartawan di Tuban. Karena dia melihat anaknya menderita secara batin, juga fisik.

‘’Dia pernah mengeluh kepalanya sering pusing dan keluar darah akibat perbuatan itu,’’ bebernya.

Bahkan, Fe juga sempat mengadu langsung ke Polda Jawa Timur. Dari Polda, Fe disarankan untuk meminta pendampingan dari Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR). Sebuah lembaga yang getol mengadvokasi korban kekerasan anak dan perempuan. KPR berkedudukan di Tuban.

Fe bersemangat. Dia kemudian mengadukan ke KPR. Dia kontak-kontak aktivis di KPR, namun dia belum tahu kantor KPR ada di mana. Maka, usai dia mampir di Balai Wartawan, salah seorang wartawan mengantarkan Fe dan Da ke kantor KPR.

KPR : ‘’Kami akan berusaha membantu’’

 

BERUSAHA MEMBANTU : Nunuk Fauziyah Direktur Eksekutif KPR Mendampingi Na

Direktur Eksekutif KPR Nunuk Fauziyah mengaku menerima pengaduan kasus Na tersebut. Dia mengatakan, sedang mempelajari kasusnya. Nunuk mengaku cukup berat kasus itu.

‘’Cukup berat. Kasus sudah terjadi sejak 2015 dan baru dilaporkan November 2017,’’ katanya.

Namun, dia berusaha untuk mendampingi dan membantu keluarga Na semampu dia. KPR, dia katakan, sudah bertemu dengan keluarga Na, juga kedua orangtuanya. Na, juga sudah menceritakan kejadian yang dialami. Karena kasusnya lintaskabupaten, Nunuk harus membagi waktu untuk koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait.

‘’Saat ini masih tahap koordinasi. Salah satunya dengan pemkab Lamongan, karena nampaknya pemkab belum tahu,’’ terangnya.

Selain itu, juga koordinasi dengan Polres Lamongan. Alumnus Unirow ini menyebut, polisi mestinya menggunakan UU perlindungan anak untuk memroses kasus tersebut. Apakah UU itu sudah digunakan atau belum, pihaknya masih menjadwalkan untuk mendatangi Polres.

‘’Kita akan pastikan UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak digunakan,’’ tandasnya.

Dia mengakui, kasusnya cukup pelik karena antara korban dan pelaku sama-sama masih anak-anak. Sehingga, penanganan memang butuh cara khusus sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun, KPR tidak patah arah. Orangtua Na sudah datang dan mempercayai KPR.

‘’Kami akan berusaha membantu. Tidak akan kami sia-siakan kepercayaan masyarakat pada kami,’’ tegasnya.

Sementara sampai berita ini ditulis, belum didapat konfirmasi dari pihak pesantren. Ustadz Lf, salah satu ustadz yang mengurusi santri belum menjawab saat ditelepon. Dikirimi pesan pendek melalui WA juga belum dibaca.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *