ARTIKEL
Oleh : Dian Rustyawati
Lenterakata.com – Menurut laporan dari Bank Indonesia, industri perbankan syariah saat ini menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang baik, khususnya di masa pandemi seperti sekarang.
Berbagai sektor terdampak oleh pandemi, termasuk sektor riil yang merupakan salah satu fokus segmen perbankan syariah di Indonesia. Namun, perbankan syariah mampu bertahan terhadap krisis ekonomi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, kinerja perbankan syariah masih sangat baik selama masa pandemi tahun lalu. Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan data OJK, pembiayaan bank syariah naik 8,08 persen menjadi Rp394,6 triliun per akhir tahun 2020.
Sedangkan dana pihak ketiga mencapai Rp475,5 triliun, naik 11,80 persen secara tahunan. Rasio kecukupan permodalan berada pada level 21,59 persen dengan financing to deposits ratio berada pada 82,4 persen.
Ini menunjukkan kemampuan ekspansi pada tahun ini semakin besar. Peningkatan ini dipicu oleh peningkatan kinerja industri perbankan syariah baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran pembiayaan.
Sebuah institusi keuangan syariah harus patuh pada empat prinsip dasar, yaitu: 1) Semua transaksi harus bebas dari riba Al-quran menyebutkan secara eksplisit bahwa semua transaksi jual beli harus bebas dari riba (Al-Baqarah: 185).
2) Semua aktivitas transaksi harus bebas dari spekulasi (gharar). Aktivitas yang melibatkan elemen spekulasi seperti pembelian saham dengan harga yang sangat rendah, dan menjualnya dengan sangat tinggi.
3) Harus mengimplementasikan zakat sebagai kewajiban dalam Islam Zakat merupakan kewajiban pembayaran pajak dari si kaya kepada simiskin untuk kesejahteraan bersama.
Berdasarkan prinsip tersebut terdapat beberapa tipe instrument keuangan yang tersedia dipasar. Beberapa instrument tersebut adalah musyarakah, mudarabah, murabahah, ijarah, istisna dan qordul hasan.
Indikator pengukuran kinerja perbankan
Pengukuran indicator kinerja Perbankan Syariah yang paling umum digunakan adalah pendekatan CAMELS (Capital, Asset, Management, Earning, Liquidity dan Sensitivity Market Risk). Metode pengukuran ini merupakan alat ukur resmi yang digunakan Bank Indonesia dalam mengukur kesehatan Bank Syariah di Indonesia.
Pengukuran menggunakan CAMEL meliputi beberapa rasio, yaitu: a) Capital Adequacy Analisis ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kemampuan bank dan manajemen dalam mengatasi kejutan saat terjadi krisis.
Capital adequacy diukur dengan menggunakan rasio equitas terhadap total asset (EQTA). Bank syariah memiliki nilai EQTA yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa bank syariah mampu mengkapitalisasikan asetnya dengan baik.
- b) Asset quality atau kualitas asset ditentukan guna membantu bank memahami risiko terkait pengungkapan bank kepada debitur. Pada bank syariah LLR meningkat yang artinya besarnya risiko setelah krisis, sebagaimana terjadi pada bank konvensional.
Prilaku bank baik Islam maupun konvensional untuk menghapus pinjaman yang tidak tertagih terakumulasi selama periode krisis. Identifikasi pinjaman tidak tertagih membuat profit bank meningkat.
Namun, peningkatan ini tidak hanya disebabkan oleh hal tersebut, namun kedua bank mampu meraih profit setelah terjadinya krisis.
- c) Management quality Merupakan tolak ukur untuk memahami kewajiban manajemen untuk menjaga operasional perbankan berjalan mulus dan sesuai dengan kaidah. Pengukuran kualitas manajemen dilakukan dengan rasio kos terhadap income (COSR).
Pada bank konvensional COSR menunjukkan kinerja yang baik, sementara pada bank syariah sangat buruk. Pada bank syariah COSR yang dihasilkan tinggi sehingga mengarah pada rendahnya profitabilitas setelah terjadinya krisis.
- d) Earnings Merupakan parameter kinerja bank yang membantu bank untuk menentukan dana yang dihadiahkan kepada stakeholder-nya. Pengukurannya menggunakan dua metode, yaitu perputaran rata-rata asset (ROAA) dan perputaran rata-rata ekuitas (ROAE).
ROAE menunjukkan kinerja yang baik masa pemulihan dari krisis. Namun demikian, bank konvensional mampu menunjukkan kinerja lebih baik dibandingkan bank syariah.
Sementara itu untuk ROAA tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam masa pemulihan dari krisis baik untuk bank syariah maupun bank konvensional.
- e) Liquidity Parameter ini untuk membantu bank menetapkan dan mengevaluasi risiko yang dihadapi dan tidak dapat diprediksi sebagai penyebab utama kebangkrutan bank.
Nilai likuiditas diukur dengan pinjaman bersih terhadap total asset (NLTA). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini tidak ada perbedaan yang signifikan baik bank syariah maupun bank konvensional, terhadap NLTA baik selama periode krisis maupun setelah krisis.(*)