Unen Unen Tuban Kelompok Musik Unik Asal Bumi Wali

oleh -
PENTAS : Grup Unen-Unen dalam Sebuah Pementasan

Bukan Grup Musik, Tapi Kelompok Pelestari Alat Musik Purba

Penulis : SRI WIYONO

Awalnya, hanya kalangan terbatas yang tahu jika di Tuban ada kelompok musik yang unik. Unen-Unen Tuban mereka menamakan diri. Mereka mengedepankan bunyi-bunyian berbagai alat musik tradisional dari berbagai belahan bumi. Lambat laut nama mereka menanjak.

Link Banner

Menikmati alunan musik yang dilantunkan kelompok Unen-Unen Tuban, membawa penikmatnya ngelangut. Pikiran dan perasaan terbang ke masa lampau. Musik-musik yang keluar dari alat musik yang sudah langka, bahkan purba menjadikan suasana kuno begitu kental. Terlebih, alunan musik itu dinikmati di tengah malam yang hening.

Begitulah, Unen-Unen Tuban menggiring perasaan penikmat musiknya. Kelompok ini, mempunyai sembilan orang anggota jika dalam formasi lengkap. Namun, mereka bisa tetap tampil meski anggota tidak lengkap. Alat musik yang dimainkan menyesuaikan jumlah pemain.

‘’Kami bukan grup musik, tapi sekumpulan orang yang kebetulan punya kesenangan yang sama,’’ ujar Agus Hewod, anggota paling tua di kelompok asal Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban tersebut.

Agus menyatakan, tidak ada pimpinan dalam kelompoknya. Karena menurut dia, semua berjalan dengan sistem kebersamaan. Setiap anggota adalah pemain, dan setiap pemain adalah pemimpin. Namun, karena usianya yang paling tua, Agus dianggap sebagai koordinator.

‘’Anggota dari berbagai latar belakang. Ada yang sudah bekerja, bahkan yang sekolah juga ada. Sedang saya sendiri juga pedagang,’’ akunya.

Unen-Unen Tuban, tutur dia, terbentuk sekitar 2012. Kelompok ini terbentuk berawal dari warung kopi. Agus, yang sering ngopi di sebuah warung di Rengel sering bertemu dengan pemuda-pemuda lain dan ngobrol bersama. Entah bagaimana awalnya, dari banyak obrolan itu, lantas muncul ide untuk membuat kelompok yang lain daripada yang lain. Sebab, kelompok ini sangat peduli dengan alat-alat musik kuno, bahkan cenderung purba.

Maka, mulailah anggota kelompok ini berburu. Tak gampang memang, karena mereka harus mencari informasi tentang alat musik yang pernah ada ini kepada masyarakat. Orang-orang yang usianya sudah sepuh banyak ditanya. Agus sendiri juga rajin berselancar di dunia maya dengan internet untuk mencari rujukan dan referensi. Ketika dapat alat, mereka berusaha memainkan.

’’Kami belajar sendiri. Otodidak. Kami memainkan sekaligus untuk nguri-uri alat musiknya,’’ tutur pria asal Banyuwangi ini.

Maka tak heran, alat musik yang dia mainkan bentuknya aneh. Suaranya juga ada yang aneh, unik bahkan lucu. Alat musik yang sekarang dimainkan itu, dari berbagai daerah. Di antaranya adalah alat musik kategori purba. Salah satunya adalah alat musik riwal atau orok-orok atau disebut juga rinding siwalan.

‘’Alat musik ini asli Tuban yang sudah berumur ratusan tahun lalu,’’ ungkapnya.

Selain itu, juga alat musik siter, buyung, sapek, rinding bahkan Fujara. Alat musik Fujara disebutkan berasal dari negara Slovakia. Semua alat itu, tidak mudah memainkannya. Hanya, dengan ketekunan dan semangat, anggota kelompok ini bisa memainkan. Setiap anggota kelompok, menguasai lebih dari satu alat musik. Sehingga, bisa menggantikan anggota kelompok lain yang tidak bisa bergabung ketika pentas. Caranya, satu anggota kelompok memainkan lebih dari satu alat musik.
‘’Kami mengandalkan harminisasi bunyi,karena notasi musik kami juga tak faham,’’ katanya.

Semua alat itu, menurut bapak dua anak itu, dibuat sendiri. Alat musik sapek misalnya, yang dimainkan dengan cara dipetik. Musik khas suku Dayak di Kalimantan itu semacam kecapi, dengan batang alat musik dari kayu yang terukir. Agus membuatnya sendiri dan belajar memainkannya. Ternyata bisa. ‘’Kami meniru desain aslinya, lalu membuatnya. Begitu juga dengan alat musik lainnya,’’ tandasnya.

*Pahami Sejarahnya Sebelum Berani Memainkan

AGUS HEWOD : Koordinator Grup Unen-Unen

Suatu waktu, Agus Hewod harus menjelajah sampai pedalaman Pulau Madura untuk menemukan dan mendengarkan sejarah alat musik yang dia temukan. Rinding, nama alat music itu. Dia harus faham asal usul alat musiknya sebelum berani memainkan.

Ada berbagai jenis rinding, alat musik langka yang cara memainkankannya di antaranya menggunakan gigi. Satu sisi digigit dengan gigi, sisi lainnya ditarik dengan tangan. Sedang tangan satunya memetik benang panjang yang dua sisinya digigit tersebut. Bunyi yang dihasilkan unik, dan terdengar lucu.

‘’Di Madura juga ada rinding,’’ ujar Agus Hewod, yang dianggap sesepuh di kelompok Unen-Unen Tuban itu.

Suatu kali, dia mendapatkan informasi tentang rinding itu dari salah seorang koleganya. Saat dicari referensinya, dia menemukan rinding jenis tersebut berasal dari Pulau Garam, Madura. Maka diapun kemudian mengumpulkan cerita dan referensi, dari Madura sebelah mana alat musik itu berasal.

Setelah lama mencari, tahulah dia lokasinya. Hanya, lokasi tersebut sangat pelosok, terpencil jauh dari perkotaan. Demi mendapatkan sejarah mengenai asal usul rinding tersebut, dia harus pergi ke desa tersebut.

‘’Kami tidak berani memainkan alat musik tanpa tahu asal usulnya. Jadi, kami bisa bercerita banyak mengenai alat musik yang kami mainkan ini,’’tuturnya.

Maka sampailah Agus ke lokasi yang disebut tempat asal rinding Madura itu, setelah menempuh jalan yang panjang. Hanya, saat sampai lokasi, dia harus menghadapi kendala lagi. Orang yang disebut bisa bercerita mengenai rinding itu hanya bisa berbicara dengan bahasa Madura.

‘’Sedangkan, saya tak faham bahasa Madura,’’ kata dia sambil tersenyum.

Dia tak kehilangan akal, kepala desa (Kades) setempat dia dekati. Atas bantuan kades itulah dia akhirnya bisa mendapat cerita mengenai rinding tersebut. Alat musik itu, saat ini sering dia mainkan.

‘’Dari Madura kami punya dua alat, rinding dan bakbeng,’’ ungkapnya.

Begitulah alumnus fakultas teknik Universitas Islam Malang (Unisma) ini mengungkap sedikit liku-liku perburuannya. Dia mengatakan, alat-alat musik purba, konon dulu sangat erat kaitannya dengan kegiatan ritual yang dilakukan masyarakat. Alat musik pada jaman dulu, kata dia, banyak digunakan sebagai sarana untuk menyembah Tuhan.
Dan kepercayaan itu, turun temurun ditularkan pada generasi berikutnya. Sehingga, generasi yang menyimpan alat tersebut juga tak mudah memberikan pada orang lain. Bahkan, banyak orang yang memainkan saja tidak berani.

‘’Karena tak sedikit yang disakralkan. Itu yang kadang menjadi kendala kami,’’ bebernya.

Untuk itu, Agus harus sering nyambangi pemilik alat musik tersebut yang rata-rata sudah berusia lanjut. Dia harus sabar, dan bicara dari hati ke hati, sebelum diizinkan memegang dan memainkan alat tersebut. Dari situlah Agus Hewod kemudian tahu struktur dari alat musiknya, sehingga kemudian dia contoh untuk membuat duplikatnya.

‘’Kami tidak berani untuk mengubah desainnya, kami upayakan seperti aslinya,’’ kata dia.

Jika dia menemukan jenis alat musik yang belum diketahui asal usulnya, belum punya rujukan sejarahnya, dia tidak berani memainkan. Alat itu, akan terus disimpan sampai kemudian dia menemukan referensi tentang alat musik tersebut.

‘’Untuk alat musik rinding siwalan atau orok-orok yang asli Tuban, informasi yang kami dapat baru sebatas usianya. Kami masih mendekati sumbernya untuk mau bercerita soal sejarah alat tersebut. Karena itu, sementara alat itu masih kami simpan,’’ ungkapnya.

Pernah Mengiringi Tri Utami dan Mustafa Debu

FORMASI LENGKAP : Personel Grup Unen-Unen Lengkap

Unen-Unen pernah mengiringi Tri Utami nyanyi. Juga berkolaborasi bersama Mustafa Debu. Meski demikian, kelompok ini tak mematok tarif saat diminta manggung. Berbagai kota di Tanah Jawa pernah disinggahi.

Agus Hewod agak kebingungan ketika ditanya berapa tarifnya sekali manggung. Dia garuk-garuk kepala yang tidak gatal itu. Juga sejenak diam. Nampak dia berfikir sebelum melontarkan jawaban.
‘’Berapa ya, selama ini tidak pernah matok tarif sih,’’ akunya sambil tertawa.

Ya, Unen-Unen Tuban ini memang tidak dia komersilkan. Bagi dia, kampanye tentang pelestarian alat musik kuno dan purba sudah tak ternilai harganya. Karena itulah, dalam setiap kesempatan dia tampil, selalu diselipkan kampanye tentang betapa pentingnya melestarikan budaya, juga hasil dari kebudayaan itu. Alat musik adalah salah satunya.
‘’Mengundang kami cukup transport dan akomodasilah. Dan tentu saja makan, masak kami tidak dikasih makan,’’ lontarnya lagi penuh canda.

Bapak dua anak itu mengaku di Tuban sangat jarang manggung, justru yang sering dia diundang di ke luar kota. Sebut saja Solo, Jogjakarta, Malang, Banyuwangi, Rembang dan sejumlah kota lain di Pulau Jawa. Bahkan, dia pernah diundang untuk manggung di daerah Majalengka, Jawa Barat. Dia dikenal di sana, karena ada seniman dari daerah setempat yang ketemu Unen-Unen Tuban saat sama-sama tampil dalam satu festival seni.

‘’Kami memang sering diundang ke festival-festival,’’ tuturnya.
Dari ajang festival itu, dia sering ketemu dengan seniman-seniman, sehingga jaringannya menjadi semakin luas. Dengan memanfaatkan internet, dia sering diskusi atau bertukar informasi dengan seniman lain dari daerah lain.

Karena itu, ketemu tokoh-tokoh seniman juga tak asing lagi. Misalnya dia pernah ketemu dan bercanda-canda dengan Didik Nini Thowok, maestro tari yang dimiliki negeri ini. Juga pernah sepanggung dengan penyanyi kawakan yag cukup penyanyi terkenal Tri Utami.

Unen-unen Tuban pernah tampil bareng dan mengiringi penyanyi yang pernah menjadi vokalis grup jazz Krakatau itu. Perjumpaan Unen-Unen Tuban dengan Tri Utami terjadi di Malang, tahun 2015 lalu di ajang Jagongan Budaya di Universitas Brawijaya (UB).

Seniman lain, yang pernah mengajak kelompok asal Rengel ini adalah Mustafa Debu. Debu adalah grup musik yang bernuansakan Padang Pasir. Grup ini berasal dari Amerika Serikat (AS). Mustafa adalah vokalis grup ini. Kolaborasi itu, lanjut pria berjenggot ini, juga terjadi di Malang tahun 2015 lalu.

‘’Saat itu di acara Kampung Cempluk,’’ ungkapnya.

Bagaimana Agus Hewod memimpin anggota Unen-Unen Tuban yang beragam itu ? Padahal, semua anggota punya kegiatan masing-masing. Misalnya ada yang bekerja bahkan sekolah. Sehingga cukup merepotkan kalau harus ke luar kota. Sedang, jika di luar kota tak cukup hanya sehari.

‘’Ya izin. Kerja atau sekolah ya harus izin saat ada undangan ke luar kota,’’ ujarnya.

Dengan komunikasi yang baik, anggota kelompok ini juga enjoy sampai saat ini. Kecintaan pada seni dan alat musik kuno yang menyatukan mereka.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *