TUBAN
Penulis : M. Rizqi
Lenterakata.com – Perkembangan zaman yang semakin maju tak bisa hindari. Banyak budaya baru yang mengiringi setiap berkembangan yang ada. Karena itu, kaum millenial harus faham di posisi mana saat ini dia berada. Sehingga, tidak mudaj terjebak dan kehilangan jati dirinya.
Hal itulah yang disampaikan Minahul Mubin atau Mubin Wong saat mengisi seminar Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban, Senin (29/1/2024). Alumni UIN Malang, Tim Kaderisasi PBNU serta dosen Unisla Lamongan dan kandidat doktor Unisma Malang ini mengajak mahasiswa untuk terus berfikir kritis dan tidak meninggalkan forum-forum keilmuan.
Dalam seminar nasional dengan tema “Penguatan nilai-nilai Aswaja An Nahdliyah pada Generasi Millenial tersebut, Mubin meminta para mahasiswa IAINU Tuban yang juga pemuda NU, nilai-nilai ahlussunnah wal jamaah (aswaja) an nahdliyah harus terus dijaga dan dikembangkan dari masa ke masa.
‘’Nilai-nilai tersebut harus dikenalkan pada kaum millenial untuk menghadapi perkembangan zaman yang sangat pesat. Juga masuknya budaya-budaya baru di kalangan muda yang menyertai laju perkembangannya,’’ ujarnya.
Sebagai mahasiswa kaum millenial atau kaum muda NU, dia meminta agar para mahasiswa NU ini faham dan mengetahui posisinya sebagai kaum millenial. Sebagai generasi muda NU, mahasiswa IAINU dan akum millenial NU pada umumnya harus tahu posisinya. Harus mengerti juga bagaimana perjalanan NU mulai awal sejak saat ini.
Hal itu harus dimengerti dan difahami agar kaun muda NU tidak mudah tercerabut dari akar budanya. Karena kalau tidak faham posisinya saat ini, lanjut Mubin Wong, kaum millenial tidak akan faham pada kondisi termasuk sejarah NU. Dia menyebut aswaja sangat erat kaitannya dengan Pancasila sebagai dasar negara.
‘’Karena Pancasila adaaah perasan dari qonun asasinya Mbah Hasyim Asy’ari, qonun asasinya NU. Coba carilah artikel atau data yang menyatakan ada kaitannya antara Pancasila dengan qonum asasinya NU,’’ jelas Mubin Wong.
NU, kata dia, tidak serta merta datang dan dan dibentuk. Namun, melalui proses panjang dari pergulatan pemikiran dan kematangan pengalaman pada pendiri terdahulu. NU dimulai dari Nahdlatut Tujar, yakni perkumpulan para saudagar para pedagang dan pelaku ekonomi yang bertekat bahwa Indonesia tidak boleh dijajah. Indonesis tidak boleh menjadi buruh di negeri sendiri.
Pemikiran itu kemudian juga disambut oleh para pemuda, kaum terpelajar muda dan kaum muda pesantren yang kemudian mendirikan Taswirul Afkar. Ketika sosial politik membuat peran para ulama, pemikir dan para tokoh dibutuhkan semakin luas dan nyata, kemudian didirikan
Nahdlaltul Wathan. Perkembangan sosial politik di dunia juga semakin cepat termasuk di Arab Saudi dengan kebijakan-kebijakanya yang dinilai ada yang tidak sesuai. Sehingga butuh peran yang besar dari kaum muslim di dunia. Maka Indonenesia membentuk Komite Hijaz yang digawangi para kiai dan ulama.
‘’Selanjutnya pada 1926 dideklarasikan NU, saat itu Turki Utsmani runtuh, saat itu NU hadir yang pengaruhnya sama dengan pengaruh Tiurki Ustmani dan NU punya peran besar di Arab Saudi,’’ungkap pria asal Lamongan ini.
Indonesia dan khususnya NU, dalam konteks kekinian selalu hadir untuk berperan dalam perjalanan negara. NU, kata Mubin. diminta hadir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan saat negara dalam kondisi genting. Buktinya NU berperan besar dalam perlawanan pada penjajah pada 10 November yang melahirkan Hari Pahlawan.
Perlawanan berawal dari resolusi jihad yang dikeluarkan NU melalui tokohnya. Pada 2019, urainya, ada kegaduhan kampret dan cebong yang tak kunjung reda. Maka Rais Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin saat itu mau turun derajat dengan mau menjadi Wapres. Meski harus menerima hujatan sana-sini, namun akhirnya terjawab bagaimana peran Kiai Ma’ruf Amin untuk Indonesia.
Pada pada masa 1997-1998 menjelang reformasi berapa banyak nyawa melayang, pembunuhan dan penculikan aktivis mahasiswa, namun kasus ini sekarang tidak lagi menjadi bahasan menarik dan diskusi para aktivis kampus.
‘’Maka harus faham dan sadar posisi sebagai kaum millenial NU yang punya tanggungjawab untuk terus menjaga semua nilai keNUan di tengah gempuran budaya millenial yang melekanakan,’’ ingat dia.
‘’Karena saat ini nilai-nilai luhur itu mulai luntur, jangan-jangan nanti sudah lupa dzibaan, salawatan dan sebagainya. Khawatirnya anak-anak kita nanti sudah tidak lagi mengenal budaya dan nilai-nilai itu karena saat ini sudah tak dilakukan lagi akibat terdistorsi dengan hal-hal baru itu,’’ tuturnya.
Jika budaya yang melenakan kaum pemuda saat ini itu tak difahami dan ditangkal. Kemillenialan ini kalau tidak disadari dan diperhatikan betul-betul maka bisa membunuh. Budaya kaum millenial dan perkembangan jaman yang sedemikian pesat, maka pemuda NU harus tetap menjaga norma, nilai-nilai agama dan keNUan. Karena kita tidak bisa menolak perkembangan internet, kemajuan teknologi dan budaya-budaya baru yang mengiringinya, sehingga nilai lhur harus terus dipertahankan.
‘’Saya berharap pada IAINU, dari diskusi ini akan berdampak dan bisa mengetuk pintu langit bahwa IAINU dengan mahasiswanya bisa menjadi solusi untuk peradaban dunia,’’ tandasnya.
Mewakili kampus, Jamal Ghofir, MA, Dekan Fakultas Dakwah IAINU Tuban mengatakan, seminar tersebut sekaligus untuk memeringari hari lahir ke 101 Nahdlatul Ulama (NU). Juga sebagai tugas akhir mahasiswa. Menurutnya, ciri kampus berkembang adalah kampus yang penuh dengan proses keilmuan di dalamnya. Karena ilmu bukan hanya didapat dari dalam kelas saat perkuliahan saja. Tapi juga melalui seminar-seminar atau diskusi. (*)