IAINU Tuban Bedah Dispensasi Nikah dari Landasan Hukum dan Sosial

oleh -
BERI MATERI : Ketua PA Tuban saat Memberi Materi Dalam Seminar di IAINU Tuban

TUBAN

Penulis : M. Rizqi

Link Banner

Lenterakata.com – ‘’Jika Anda sebagai hakim, lalu datang seorang perempuan berusia 17 tahun dalam kondisi hamil dan segera melahirkan, akibat pacaran yang keblabasan. Dia mengajukan dispensasi nikah agar bisa menikah. Apakah pengajuan dispensasi itu diterima atau tidak?’’ tanya Ketua Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Tuban Mufi Ahmad Baihaqi, MH.

Pertanyaan itu dilontar Mufi pada peserta seminar yang membahas dispensasi nikah yang digelar di Insitut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban, Kamis (21/12/2023) di aula gedung KH Hasyim Asy’ari IAINU Tuban.

Acara yang dihelar Himaprodi Hukum Keluarga Islam (HKI) Fakultas Syariah tersebut mengambil tema Dispensasi Nikah dilihat dari Landasan Hukum dan Sosial. Tema ini diangkat karena Kabupaten Tuban termasuk salah satu kabupaten dengan jumlah dispensasi menikah terbanyak di Jawa Timur.

Menurut Mufi, ada banyak pertimbangan hakim ketika memutuskan apakah pengajuan dispensasi menikah itu dikabulkan atau tidak. Seperti kasus yang ditanyakan tersebut, sering dijumpai di PA, saat ada pihak yang mengajukan dispensasi menikah. Dalam kasus ini, Mufi mengatakan, hakim akan mencermati persidangan serta hasil pemeriksaan yang dilakukan pada pemohon dispensasi.

Dari pertanyaan yang dilontarkan Mufi tersebut, para peserta seminar ada yang menjawab permohonan dikabulkan, dan ada juga yang permohonan harus ditolak. Masing-masing menyampaikan alasan dan dasar yang jelas.

Pihak yang menolak mendasarkan alasannya pada UU nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan UU perkawinan tahun 1974. Dalam UU yang baru itu disebutkan batas minimal usia menikah adalah 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Sedang pada UU lama batasan usia menikah perempuan minimal 16 tahun dan kali-kali 19 tahun.

Dispensasi menikah adalah pemberian izin khusus oleh PA kepada pemohon menikah yang secara syarat usia belum memenuhi syarat. Sehingga, dalam proses ini juga harus dilakukan sidang di PA.

‘’Dispensasi itu diterima dengan banyak pertimbangan, salah satunya masa depan anak. Ketika lahir anak harus punya status yang jelas karena itu adalah hak anak,’’ terangnya Mufi.

Hanya, putusan PA tersebut juga menjadi perdebatan bahkan diajukan kasasi, bahwa disebutkan hamil tidak menjadi alasan dikabulkannya pengajuan dispensasi nikah. Sebab, jika itu dilakukan, sama saja dengan PA melegalkan ‘kecelakaan-kecelakaan’ dalam hubungan seperti yang dicontohklan di atas.

‘’Hal inilah yang harus dipahami masyarakat. Ada banyak pengajuan dispensasi menikah juga diababkan oleh budaya dan pemahaman agama khususnya tentang menikah yang dipahami secara hukum fiqih saja,’’ ungkap dia.

Mufi membeber data dari tahun ke tahun permohonan dispensasi menikah itu naik. Pada tahun 2018 dari 731 kasus yang masuk ke PA Tuban, dispensasi menikah sebanyak 93, tahun 2019 dari  961 kasus dispensasi menikah 215 kasus. Tahun 2020 ada kasus 1.019 yang masuk dan 577 kasus adalah dispensasi menikah. Lalu tahun 2021 ada 772  kasus dan dispenhasi menikahnya 564 kasus. Pada 2022 ada 516 kasus dipensasi menikah dan tahun 2023 sudah ada 400 lebih pengajuan dispensasi menikah.

Untuk menanggulangi hal itu, menurut dia, dilakukan mulai hulu sampai hilir. Harus ada kerjasama lintas sektoral dan kerjasama dengan banyak pihak. Selain itu, pemahaman dan sosialisasi harus terus dilakukan bahwa menikah di bawah umur itu banyak resiko, baik dari sisi kesehatan maupun mental.

Selain Mufi juga ada narasumber Abdullah Syarif Sekretaris Umum Formahi dan Kaffani Annashib dari Dinas Sosial Kabupaten Tuban. Seminar dalam rangka memeriahkan ulang tahun ke 35 IAINU Tuban ini dibuka oleh Agus Fatoni M.Pd Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kerjasama. Seminar diikuti oleh mahasiswa dan perwakilan siswa dari SMA dan sederajat se Kabupaten Tuban. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *