Ada Tak Lagi Waktu Untuk ‘Petan’

oleh -
PRODUKTIF: Para Perempuan Desa Tasikharjo Semakin Produktif Setelah ada Program Batik dari Pertamina

TUBAN

Penulis: M. Rizqi

Link Banner

Lenterakata.com – ‘’Tak ada lagi waktu untuk petan, sambil ninis di bawah pohon,’’ ujar Roudhotin (49) sambil tangannya sibuk menekan cap batik ke gelaran kain putih di atas meja panjang.

Sambil terus mencap batik ke seluruh kain sepanjang dua meter itu, cerita batik di Desa Tasikharjo, Kecamatan Jenu meluncur dari bibir. Usaha batik yang digeluti kelompok perempuan di desanya bisa menambah penghasilan warga.

‘’Dan itu sangat membantu,’’ sebutnya.

Salah satu contohnya adalah dirinya sendiri. Semula, ibu empat anak ini terlalu banyak waktu luang selepas menggarap lahan pertaniannya. Usai sawah dia tak punya kerjaan lagi. Rata-rata, warga berangkat ke sawah atau lading pagi hari, dan pulang tangah hari. Setelah itu, tak ada lagi yang bisa dikerjakan.

‘’Saya tak punya tanah sendiri, saya hanya buruh tani,’’ akunya.

Tentu saja, nenek enem cucu itu hanya mengandal upah dari pemilik lahan, dan itupun tak tentu. Saat masa tanam, dia banyak job yang bisa dilakoni, sehingga tentu saja pundi-pundinya cukup. Pun waktu panen, ada saja orang yang membutuhkan tenaganya.

Hanya, saat usia tanaman sudah mulai tumbuh sampai mendekati musim panen., sudah tak banyak harapan yang bisa digantungkan. Untuk pemeliharaan tanaman, pemilik lahan dan keluarganya bisa mengerjakannya sendiri.

‘’Karena itu, sejak ada batik saya dan banyak warga lain ada pekerjaan,’’ ungkap dia.

Perempuan itu itu menyebut, sebelum ada batik, para perempuan banyak menghabiskan waktu dengan ‘petan’ atau kegiatan saling mencari kutu di kepala warga. Biasanya ‘petan’dilakukan sambil ‘ninis’ atau berteduh di bawah pohon, selain teduh anginnya juga semriwing.

‘’Karena sekarang tidak usum kutu, yang dicari adalah uban,’’ selorohnya sambil tertawa.

Dengan pekerjaan membatik, Roudhotin mengaku gampang mencari upah Rp 50 ribu sehari. Jika batik cap, dia hanya butuh mengerjakan lima  lembar kain ukuran dua meteran, karena satu lembar dihargai Rp 10 ribu untuk jasanya.

‘’Lima lembar paling 2-3 jam selesai, itu sudah termasuk menjemur sampai kering,’’ tuturnya.

Karena itu, kegiatan membatik yang dibantu Pertamina di desanya sangat membantu warga.

‘’Kalau bisa terus dikembangkan sampai besar,’’ harapnya.

 

Kami butuh pelatihan manajemen

BUTUH BIMBINGAN: Para Pembatik Masih Butuh Bimbingan Manajemen Pemasaran

Salah satu kelompok yang dibantu Pertamina itu adalah UKM Sekar Tanjung. Kelompok beranggota 21 orang ini adalah penerima manfaat program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina (Persero) Terminal BBM (TBBM) Tuban sejak 2016 silam.

Saat ini, puluhan ibu rumah tangga di desa sekitar operasi TBBM tak memiliki waktu bersantai dan ‘petan’ lagi.

Membatik menjadi kegiatan produktif warga. Program edukasi batik sangat terasa manfaatnya bagi kaum hawa di desa ini.

‘’Semula para ibu hanya menggantungkan penghasilan suami, sekarang per jam mampu mendapat uang Rp 50  ribu. Perubahannya jauh sekali dari sisi ekonomi keluarga,’’ terang Susiani Ketua UKM Sekar Tanjung disela kunjungan para awak media di lokasi produksi batiknya, Jumat (22/3/2019) lalu.

Susi ingat betul, anggotanya sebelum menerima manfaat CSR Pertamina banyak nganggurnya. Kalau sudah selesai beres-beres rumah, atau pulang dari ladang hanya ngerumpi yang dilakoni. Namun, dari batik anggotnyaa rata-rata mendapat Rp 300 ribu, atau tergantung jumlah pesanan.

‘’Kalau pesanan banyak, bisa dapat lebih banyak lagi,’’ jelas guru PAUD ini.

TAMBAH PENGHASILAN : Roudhotin Salah Satu Warga yang Merasakan Manfaat Program Batik Pertamina

Lembaran baru lebih cerah sejak kedatangan Pertamina dengan program batiknya. Dengan semangat dan kegigihan perempuan yang mayoritas petani. Selain memiliki ketrampilan menjahit, perempuan binaan Pertamina ini juga mahir membuat batik tulis dan cap. Bahkan mendesain motif sendiri.

Hanya, sampai sekarang pasar batiknya masih belum terbuka lebar. Sehingga penjualan belum deras. Kelompok-kelompok itu, lanjut Susi, masih butuh bimbingan dan pelatihan manajemen. Bagaimana harus mengelola kelompok dan penjualannnya.

Perempuan ini menyebut, pada tahun kedua 2017, kelompoknya menghasilkan penjualan Rp 10 juta. Sedang pada 2018 lalu turun menjadi Rp 6 jutaan. Sebab, tak banyak order yang masuk, sehingga produksi juga turun.

Padahal, harga batiknya sendiri sangat terjangkau. Untuk batik tulis harganya kisaran Rp 155 -200 ribu per lembar ukuran dua meter. Sedangkan batik cap kisaran Rp 135 – 150 ribu  per lembar tergantung motif batik yang diinginkan.

Selain kain, UKM ini juga sedia baju jadi. Biasanya pendek diharga Rp 180-200 ribu per baju. Pemesan tidak perlu menunggu lama, karena sudah ada mitra jahit tiga orang termasuk ketua UKM yang siap melayani.

Sementara Kepala Desa Tasikharjo, Damuri mengatakakan, program baik ini diharapkan berkelanjutan, dan tidak berhentu begitu saja.

“Sudah banyak program dari Pertamina TBBM yang kami terima, dan semoga terus ditingkatkan,” harapnya.

Diakui setelah mengenal batik, perempuan di Tasikharjo lebih produktif. Pemdes sangat mendukung perkembangan UKM, karena banyak memberi manfaat bagi masyarakatnya.
Sedangkan Operation Head Pertamina TBBM, Andarias A. Rambu, mengaku bangga karena UKM binaannya bisa member manfaat pada masyarakat. Sebagai perusahaan distribusi BBM, pihaknya akan terus mendampingi warga sekitar untuk lebih mandiri.

“Menjadikan para perempuan mandiri menjadi itu suatu kebanggaan bagi kami,” katanya.(wie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *