Bedah Buku Sejarah Blora

oleh -
KUPAS BLORA : RNgt. Widyasintha Himayanthi,S.S Mengupas Materi Sejarah Blora dalam Aspek Dinamika Politik.

TUBAN

Penulis: Teguh
Lenterakata.com – Dinas Kepemudaan Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menyelenggarakan bedah buku sejarah Kabupaten Blora, Sabtu (26/10/2019).

Link Banner

Kepala Dinporabudpar, Slamet Pamuji, SH, M.Hum mengatakan kegiatan itu untuk menambah wacana dan diskusi antara narasumber dan peserta.

Acara itu dihadiri guru sejarah, pemerhati dan pegiat sejarah Blora.

“Dilihat dari judulnya, tentu akan menarik bagi pemerhati sejarah, karena diduga banyak versi masing-masing,” kata Slamet Pamuji.

Meski dihelatnya kegiatan tersebut tidak mempunyai tujuan untuk mengubah atau merevisi penetapan hari jadi Kabupaten Blora.

Narasumber yang dihadirkan adalah Profesor Dr. Warto, M.Hum, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Profesor Warto menyampaikan materi berjudul Sejarah Blora Dilihat dari Aspek Sosial-Ekonomi dan Sosial-Budaya.

Menurutnya, dalam catatan sejarah, pada abad ke-17 Blora dikenal sebagai kadipaten wilayah pesisir utara Jawa bersama-sama dengan Rembang, Tuban, Lasem, Jipang atau Metahun (Schrieke,1957).

“Daerah ini menjadi bagian dari kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada awal abad ke-16 di pedalaman Jawa Tengah bagian Selatan,” jelasnya.

Kondisi sosial ekonomi, pada abad ke-19, ketika Blora masih menjadi bagian Keresidenan Rembang, kondisinya dalam keterbatasan.

Sumber daya ekonomi, lahan tandus, langka sumber air, pertumbuhan penduduk rendah, produksi pangan terbatas, infrastruktur pertanian dan komunikasi yang masih buruk.

Faktor-faktor struktural seperti kelangkaan sumber daya dan hegemoni kekuatan asing secara simultan.

Menjadi tekanan permanen yang mempengaruhi dinamika masyarakat pedesaan sepanjang abad ke 19 hingga berakhirnya masa kolonial Belanda.

“Keberadaan hutan jati, membawa berkah dan sekaligus beban. Sebelum dikuasai kaum penjajah, sumberdaya hutan menjadi berkah bagi penduduk sekitar,” kata Profesor Warto.

Karena hutan menyediakan berbagai bahan pangan dan sayuran yang mampu menopang kebutuhan subsistensi penduduk desa hutan.

Namun setelah dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda, dan dieskploitasi secara besar-besaran oleh perusahaan swasta, akses penduduk atas hutan dibatasi.

“Dan akhirnya mereka kehilangan sumber penghidupan. Penduduk justru dipaksa menjalankan kerja wajib blandong yang sangat berat,” jelasnya.

Blandong adalah profesi yang sekaligus simbol penderitaan masyarakat desa hutan yang hidup dalam tekanan kolonial.

“Eksploitasi hutan juga melahirkan kelompok sosial pesanggem, yaitu petani penggarap yang mengikat kontrak kerja dengan jawatan kehutanan,” urainya.

Dalam asek sosial budaya, kata Profesor Warto, di Blora muncul gerakan sosial-keagamaan yang menawarkan jalan pembebasan dari segala tekanan dan kesulitan.

“Gerakan ini merepresentasi masyarakat agraris di perdesaan dengan subbudaya, abangan. Seperti muncul gerakan Samin,” katanya.

Beberapa kesenian rakyat seperti kentrung, wayang krucil dan tayub merupakan kekayaan budaya lokal yang menggambarkan tata hidup masyarakat beserta nilai-nilainya.

“Sebagai catatan akhir, bahwa Blora mempunyai sejarah panjang dan menyimpan kekayaan sosial, ekonomi dan budaya yang tidak ternilai,” ujanya.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penggalian sejarah dan budaya lokal secara berkelanjutan agar kekayaan budaya itu tetap menjadi kebanggaan sekaligus pembentuk jati diri dan identitas daerah yang kuat.

“Di samping itu perlu menumbukan kesadaran sejarah di kalangan generasi muda melalui cara mutakhir dan inovatif,” tadasnya.

Sementara itu, nara sumber berikutnya, RNgt. Widyasintha Himayanthi,S.S mengupas materi sejarah Blora dalam aspek dinamika politik.

Menurutnya, perjanjian Giyanti tahun 1755 menghasilkan Mataram menjadi dua bagian yakni Kasunanan dan Kasultanan.

Dalam palihan nagari, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian daerah mancanegara timur.

“Saat Blora menjadi bagian dari Kasunanan Surakarta, Raden Tumenggung Wilatikto yang memimpin Blora tahun 1749, tidak setuju, sehingga memilih mundur dari jabatannya,” terang dia.

Pada kesempatan tersebut, Widyasintha juga membagikan buku Sejarah Makam Keluarga Tirtonatan dan Profil Bupati Blora Tempo Dulu.

Acara yang dipandu Imam Ali Bashori, dosen STAI Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Kozinatul Ulum Blora, menjadi menarik ketika dibuka sesi tanya jawab.

Meski dibatasi waktu, namun antusias lebih kurang 50 peserta yang diselenggarakan panitia di Resto Joglo Blora, seakan kurang dan enggan dipungkasi.(wie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *