Mengenal Komunitas Tari Sufi di Tuban

oleh -

Menentramkan dan Menyehatkan Ketika Ditekuni

DZIKIR : Penari Sufi Sambil Berputar Hatinya Terus Berdzikir
DZIKIR : Penari Sufi Sambil Berputar Hatinya Terus Berdzikir

Penulis : SRI WIYONO

TIGA penari dan di beberapa kesempatan bisa lebih banyak itu terus berputar-putar. Wajahnya tenang. Sesekali tangannya direntangkan, sesekali bersedekap. Mata terpejam. Dalam hati hanya mengingat Allah. Gerakan itu terus diulang-ulang. Semakin lama berputaran tubuh itu semakin cepat.

Link Banner

Apakah tidak pusing ? Itu pertanyaan yang selalu muncul. Tidak ! Begitu jawab sang penari serempak menjawab tanya itu. Tarian sufi memang bukan kesenian khas Indonesia. Hanya, tarian unik tersebut terus berkembang di negeri ini. Di Tuban, tarian ini mulai dikembangkan sekitar 2013 lalu.

Tarian tersebut, berkembang di Turki ratusan tahun yang lalu. Namun, sejak lima tahun lalu mulai mulai berkembang di Tuban. Dulu tarian itu dikenalkan dan dipimpin oleh tokoh sufi Jalaluddin Rumi yang hidup sekitar 1207-1273 Masehi.

‘’Tarian sufi ini bukan sekadar berputar, karena mempunyai makna yang sangat dalam,’’ ujar Arif Mustain, pemimpin komunitas tari sufi di Tuban.

Dia mengatakan, ada simbol-simbol dari kostum yang dipakai. Misalnya, topi menjulang tinggi yang dipakai penari sufi dimaknai sebagai nyunggi batu nisan. Artinya, manusia sangat dekat dan agar selalu ingat dengan kematian.

Kemudian, sebelum memulai menari, kedua tangan yang diletakkan di pundak. Artinya, pundak kanan adalah untuk melihat kebaikan yang masih sedikit. Sedangkan di pundak kiri, terlalu banyak dosa yang diperbuat. Karena itu, manusia harus menjalankan perintah Tuhan untuk menuju jalan kebaikan.

‘’Sujud adalah simbol kepasrahan hamba atas Tuhannya,’’ terangnya.
Ketika keprasahan hamba pada Penciptanya begitu tinggi, maka ketenangan batin akan dicapai. Mengembalikan dan menyerahkan semua hidupnya untuk Tuhan Penciptanya, adalah salah satu ajaran dari tarian ini.

Warga Desa Glodok, Kecamatan Palang ini menjelaskan, ketenangan batin itu yang dia rasakan setelah sekian lama ikut dan memraktikkan tarian sufi tersebut. Dia menyebut, seolah ada energi positif yang masuk tubuhnya ketika dia berputar-putar. Hanya, tidak sekadar berputar, namun di hati selalu mengingat dan menyebut asma Allah.

‘’Saya tidak merasa pusing, malah rasanya bersemangat,’’ katanya.

Selain itu, dia juga merasa badannya semakin segar. Dia mengaku kesehatannya lebih baik setelah aktif menjalani tarian sufi tersebut. Dia yang semula sering pusing karena hipertensi, setelah dia aktif, keluhan itu tidak dirasakan lagi. Hanya, apa terjadi pada dirinya itu bukan tidak anggap sebagai tujuan dia menari sufi.
‘’Karena tujuan utamanya adalah kita semakin dekat dengan Allah,’’ tandasnya.
Melalui Komunitas Caping Gunung Terbarkan Cinta

Setelah melalui perjalanan yang panjang, komunitas penari sufi di Tuban membentuk Komunitas Caping Gunung. Arif Mustain menjadi ketua komunitas ini. Kabupaten Tuban menjadi daerah yang beruntung karena menjadi daerah percontohan. Komunitas Caping Gunung di Tuban dijadikan percontohan perkembangan komunitas sufi tersebut di daerah lain.

Sufi tidak cuek dengan lingkungan sekitar. Bahkan, cinta kasih pada sesama manusia dan lingkungan adalah pilar utama gerakan sufi yang dikembangkan. Komunitas Caping Gunung berusaha melakukannya.

Bukan sufi yang rumit. Karena menurut Arif, sufi yang dikembangkan adalah kehidupan sufi sehari-hari. Kehidupan yang dekat dengan masyarakat. Bukan sufi yang rumit seperti disangka banyak orang.

’’Sufi tidak sulit, karena bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari,’’ ujarnya
.
Menurut Arif, Caping Gunung yang bentuknya mengerucut, adalah gambaran inti dari perjalan hidup manusia. Bahwa manusia di dunia bisa berkiprah apa saja, berbuat apa saja, melakukan apa saja, di mana saja, di seluruh penjuru bumi, namun sebenarnya tujuannya hanyalah satu ; Tuhannya, Allah dalam islam. Setiap kehidupan di muka bumi ini juga akan kembali pada Penciptanya.

‘’Caping yang ujungnya lancip itulah tujuan hidup manusia, Allah,’’ urainya.

Ujung caping itu juga dimaknai dengan mengesakan Allah atau tauhid. Melalui zikir, manusia selalu mengingat Allah sebagai pencipta dan penjamin kehidupannya.

Melalui komunitas Caping Gunung, tarian itu bisa dinikmati berbagai lapisan masyarakat dengan intensitas yang tak terbatas. Di Tuban komunitas ini dibina langsung oleh KH Budi Harjono, kiai asal Semarang, yang di setiap pengajiannya selalu menyelipkan tarian sufi. Baik dilakukannya sendiri, atau tarian yang diperagakan oleh siswanya.

Untuk menebarkan cinta itu, komunitas Caping Gunung yang saat ini sudah tersebar di berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah itu getol melakukan kegiatan di masyarakat. Salah satunya kegiatan pencinta lingkungan. Karena itu, saat acara pengajian rutin, komunitas ini, sering membagikan caping dan bibit tanaman untuk di tanam.

‘’Gunung harus dilestarikan. Gunung adalah tiangnya jagat raya ini, penahan banjir dan penyimpan air, urainya.

Caping juga biasa dipakai petani. Ini sebagai simbol gerakan kembali ke desa, bercocok tanam mestinya menjadi tiang agung atau sendi utama di negeri ini, termasuk di Tuban yang dikenal sebagai Bumi Wali. Hanya, banyak pihak tergoda untuk tidak mengembangkan pertanian, namun memilih pengembangan yang terlihat mewah dan modern.

‘’Padahal pertanian adalah sumber kekuatan yang jarang dimiliki negara lain,’’ tutur dia.

Komunitas Caping Gunung juga mengajak menebarkan cinta. Sebab, dengan cinta hidup menjadi lebih indah. Menjadi lebih mudah. Manusia dengan manusia lainnya, menurut dia, mestinya mendasari pergaulan dengan rasa cinta. Sehingga kehidupan sehari-hari bisa menjadi lebih indah. Pergaulan antarsesama menjadi lebih harmonis dan tenang. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *