Oleh: M.Rizqi
Lentarakata.com – ‘’Sri Huning Mustiko Tuban, labuh tresno lan saboyo pati, marang Raden Wiratmoyo kang wis prasojo hanandang branti. Sri Huning datan grahito, kang rinipto kadange pribadi. Wiratmoyo putraniro Sirolawe Adipati Tuban’’
Cuplikan gending ‘Sri Huning’ itu mengalun pelan dari mulut perempuan tua yang duduk bersimpuh di halaman sebuah tempat perbelanjaan di Tuban. Suara melengking itu, ditimpahi bunyi siter kecil di hadapannya. Jari-jari keriput perempuan tua itu, lincah bermain membelai senar siter. Gesekan jari dan senar siter itulah yang menghasilkan bunyi yang harmoni. Alunan bunyi itu menghadirkan suasana syahdu.
‘’Mriki kulo paringi gending sing uenak,’’ serunya, pada penulis yang mendekatinya. Demi menikmati gending yang segera mengalun itu, aku pun ikut duduk bersimpuh. Dan, jari-jari lincah itupun gembali menari di atas senar siter tuanya.
Instrumen awal mulai mengalun. Benar dugaanku, gending ‘Caping Gunung’ yang dia bawakan. Gending itu mengalun merdu, di tengah suara agak serak, karena pita suara perempuan ini sudah digerogoti usia. Agak familiar aku dengan intro gending itu, karena aku juga menggemari gending-gending.
Tak peduli gending ‘tayub’ ataupun ‘campur sari’. Telinga ini sangat welcome dengan berbagai jenis aliran musik. Tapi jujur, mendengar suara gamelan yang mengalun, perasaan berbeda. Juga suara siter yang lincah. Terkadang mendayu-dayu, ceria, genit dan tak jarang mengiba-ngiba laksana sang pecinta merindukan kekasih.
Maka, gending ‘Caping Gunung’ itu aku nikmati dengan seksama, sampai tak terasa tuntas sudah syair terakhir. Masih dengan diiringi petikan senar siter, kami pun ngobrol. Ngatinah begitu perempuan berkerudung merah itu memperkenalkan dirinya. Dia mengaku berusia 65 tahun, dan tinggal di Dusun Bongkol, Desa Sumurgung, Kecamatan Tuban. Dia hidup sendirian, karena tak bersuami maupun beranak.
‘’Saya dua kali menikah, semuanya meninggal. Punya satu anak juga meninggal, sehingga saat ini hidup sendirian,’’ ujar Ngatinah sambil tertawa. Dari mulutnya yang terbuka terlihat beberapa giginya sudah tanggal.
Masih dengan duduk lesehan, kami pun terlibat obrolan panjang. Dia menceritakan perjalanan hidupnya, sejak kecil, sampai menjadi pengamen siter seperti sekarang ini. Menjadi pengamen, adalah satu-satunya kegiatan yang menopang hidupnya. Sebab, hanya nembang dan bermain alat musik tradisional itulah yang dia bisa.
‘’Selain siter, saya juga bisa ngendang, bonang, nggambang dan lainnya,’’ akunya.
Obrolan kami terhenti sejenak, saat seorang bapak bersama anak lelaki kecil seusia anak TK menyodorkan plastik berisi satu botol air meniral dan sepotong roti. Sang anak yang diminta memberikannya pada Ngatinah. Barangkali, sang bapak ingin mengajari anaknya untuk berbagi. Agar kelak sang anak punya rasa empati, dan peduli pada sesama yang membutuhkan.
‘’Maturnuwun nak, mugo-mugo besok dadi anak sing migunani,’’ balas Ngatinah pada anak lelaki itu.
Beberapa saat kemudian, bapak dan anak kecil itu berlalu dari halaman tempat belanja itu bersama motornya. Aku yang memang ingin berlama-lama di situ, dan ingin mendengar cerita Ngatinah, tetap tak beranjak. Lalu obrolan pun kembali dilanjutkan.
Ngatinah bercerita, dia mulai ngamen keliling dengan siter dan tembangnya sejak berusia 15 tahun. Sebelumnya, dia mengatakan belajar nembang dan bermain alat musik tradisional dari seseorang yang dia sebut Dalang Parji. Selanjutnya dia mulai mengembara dengan kemampuannya itu.
Melihat kemampuan nembangnya, ada seseorang merekrutnya. Orang tersebut mengatakan eman-eman kalau suara bagus hanya untuk ngamen. Sehingga, Ngatinah muda diajari untuk menjadi penari tayub, atau sebagai waranggono.
Dan, dia pun pernah mengalami hidup sebagai waranggono yang menghibur tamu di banyak acara. Mulai hajatan, pesta atau sedekah bumi di berbagai wilayah. Bahkan, sampai ke luar Tuban. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, dan munculnya banyak waranggono-waranggono muda, pamornya mulai turun. Maka, di kemudian hari dia harus pensiun dari profesi waranggono itu. Untuk menyambung hidup, dia harus kembali turun jalan, sebagai pengamen. Hal itu, dilakoninya bahkan sampai ke luar kota.
‘’Saya pernah lama di Kediri untuk ngamen,’’ ungkapnya.a
Ngatinah pun akhirnya kembali ke tanah kelahirannya. Hanya, usaha yang dilakukan untuk mengais rejeki masih sama; ngamen dengan siter tuanya. Setiap hari, dia mengaku berangkat dari rumah sekitar pukul 06.00, dan pulang sekitar jam 16.00 atau jam 4 sore. Karena harus berjalan kaki, nyampai rumah sekitar jam 5 sore.
‘’Karena sudah tua, kalau capek berjalan ya berhenti, duduk-duduk, lalu berjalan lagi,’’ ucapnya sambil tersenyum lebar, memperlihatkan kembali giginya yang beberapa sudah ompong itu.
Ngatinah merasa bersyukur, dia masih bisa mengais rejeki dengan kemampuan yang dimilikinya. Meski pendapatan yang dia bawa pulang tidak tentu jumlahnya, bagi dia itu adalah berkah dan rejeki yang masih bisa dia terima. Dengan rejeki itu, dia masih bisa makan dan memenuhi kebutuhannya sendiri, meski terbatas.
‘’Penghasilan ya tidak tentu. Kadang ya Rp 75 ribu, kadang ya sampai Rp 100 ribu. Dapat Rp 50 ribu juga sering. Semua disyukuri saja, pinaringane Gus,’’ tandasnya.(*)